Saya selalu ingat perkataan dari salah satu senior, kakak tingkat yang juga pernah KKN di Sabah periode sebelumnya, yang juga mengutip perkataan orang lain: “Akan selalu ada kejutan ketika kalian berada di jalan kebaikan.” Saya camkan kata-kata itu di lubuk hati saya, baik pra, saat, dan pascaKKN. Saya tidak pernah menyangka bahwa saya memilih pilihan yang tepat.
PraKKN
Sebelum ikut mendaftar menjadi bagian dari Sabah #4, saya sudah pernah mendengar cerita dari kakak dua tingkat di atas saya yang kebetulan satu prodi juga (Sabah #2 tepatnya) yang pernah KKN di Sabah. Ceritanya pun beragam. Dan yang paling saya ingat adalah bahwa di sana kesulitan air. Ia bahkan tidak mandi beberapa hari karena sulitnya menjangkau air bersih. Well, hmm,..saya cukup ngeri. Dia juga bercerita kalau di sana ia mengajar anak-anak TKI yang ilegal. Ilegal? Well, saya menelan ludah. Tapi kemudian ia bilang begini,”Di hari-hari terakhir, aku nggak mau pulang. Aku pengen di sini terus.”
Pikir saya waktu itu, keren ya Mbaknya bisa KKN di Sabah. Pasti seleksinya ketat. Apakah saya kelak bisa kayak Mbaknya ya? KKN di Sabah? Ah, ngimpi… (waktu saya mikir kayak gini, saya masih di semester 4).
Lalu di akhir semester 6 (ketika saya masih hectic mengurusi magang), saya pernah nyeletuk ke teman saya,“Aku pengen KKN ning perbatasan (Saya pengen KKN di perbatasan).” Teman saya tanya,”Neng ndi, Vi? (di mana?)” “Perbatasan Kalimantan ngono kaelah (perbatasan Kalimantan gitulah).” Pada saat saya mengucapkan itu, saya tidak terpikir akan Sabah. Siapa sangka, celetukan itu nyatanya menjadi kenyataan. Saya pun percaya ucapan adalah doa.
Masuk bulan Juni 2017, tepatnya akhir bulan. Saya iseng stalking ig @bersamasabah (sekalian branding, wkwk), dan kebetulan mereka sedang oprec untuk KKN periode Januari-Februai 2018. Saya sempat mikir dulu beberapa jam, sebelum akhirnya saya membuka laptop dan menyambungkannya dengan internet, lalu mengisi form di web bersamasabah.uns.ac.id, dengan niat dan tekad bahwa saya peduli pendidikan anak-anak TKI di Sabah. Saya ingin mengenalkan mereka kepada Indonesia. Duh, tiba-tiba saya jadi nasionalis sekali waktu itu. Saya mendaftar itu ya cuma iseng-iseng nyoba. Karena pikir saya KKN di luar negeri, pasti banyak yang daftar, dan ada seleksinya. Seleksinya pasti ketat. Waktu itu saya sudah pasrah. Ya sudah, kalau tidak diterima saya pilih KKN reguler saja.
Saya ingat, tanggal 5 Juli 2017 saya mendapat jarkoman untuk pertemuan perdana squad Sabah #4. Wew! Langsung ketemu aja nih? Nggak ada seleksinya? Saya coba baca berulang kali jarkoman itu, memang nggak ada bunyi “SELEKSI/SCREENING” tapi “PERTEMUAN PERDANA DAN SHARING2 DENGAN ALUMNI”, dari situ pun saya tahu, saya diterima jadi anggota KKN Sabah periode 4.
Sudah dapat jarkoman, saya belum izin ke ibu saya. Baru beberapa hari kemudian, saya bilang ke ibu saya. Awalnya deg-degan, sebab takut kalau ternyata ibu tidak mengizinkan, padahal saya sudah niat sekali mau ikut. Di luar negeri lho, jauh lho. Saya anak rumahan dan nggak pernah keluar, paling jauh cuma ke Jakarta. Tapi seperti perkiraan saya, ibu saya orangnya demokratis. Membebaskan pilihan kepada anaknya, asal bisa jaga diri. YEEY! Kalau sudah mengantongi restu ibu itu rasanya sudah lega. Mau ngegas aman.
Pertemuan perdana diadakan tanggal 10 Juli 2017 di Aula Taman Cerdas. Saya pikir yang datang banyak, ternyata cuma sebelas orang. Banyak ceweknya. Lakinya satu doang. Di daftar presensi, cuma ada 12 orang, dan kuota untuk KKN mandiri ada 20 orang. Ya Allah, cuma segini yang daftar? Pantes nggak ada screening. Padahal ini KKN di luar negeri. Masa nggak ada yang minat. Pertemuan itu pun diisi dengan perkenalan nama, asal prodi, aktivitas, dan alasan daftar KKN Sabah 4. Bagian alasan, saya menjawab,“Sudah panggilan hati, Mas..Mbak.”
Jadilah kita ber-12 sibuk mengadakan oprec gelombang dua untuk Sabah #4. Semasa itu juga melewati berbagai drama keluarnya satu per satu anggota karena terganjal restu orang tua hingga menyisakan 9 orang. Singkat cerita, 11 orang pun terpilih.
Belum selesai juga drama dan baru awal perjalanan, satu anggota keluar karena faktor finansial (dia teman sebidang dan seprodi dengan saya. Saya yang nyulut kompor ke dia supaya ikut, wkwk). Masih ada waktu sekitar 2 bulan buat kita ber-19 untuk mempersiapkan diri berangkat ke Sabah. Tapi di tengah perjalanan, lagi-lagi satu anggota keluar karena dia mau kejuaraan dan mengharuskan dia KKN di Solo. Awalnya berat, karena dia yang mengurusi tiket sponsor. Tapi ya sudahlah, ini terkait masa depannya juga. Tapi dari situ saya mulai takut, jangan-jangan setelah ini ada juga yang pengen keluar. Jujur saja saat seperti itu saya juga sudah mulai patah semangat. Tim yang kurang solid (danusan dan kumpul rapat tidak pernah datang full team) ditambah drama keluarnya si X untuk ikut kejurnas membuat saya berpikir,”Saya juga pengen keluar. Ikut KKN reguler aja.” Tapi di situ saya mikir, sudah hampir tiga perempat jalan, kurang dari dua bulan lagi sudah berangkat. Dan, sudah telat banget untuk daftar KKN reguler. Apalagi di tim ini saya jadi bendahara, sudah megang duit lumayan banyak. Kalau saya keluar, trus siapa yang mau megang uang? Nggak ada yang bersedia, wkwk. Dan rumah saya pun dijadikan basecamp. Pupus sudah keinginan untuk keluar. Bye…
KKN
Kita ber-18 berangkat tanggal 11 Januari dari Solo menuju Kuala Lumpur, dan bermalam dulu di Kuala Lumpur. Tanggal 12nya, kita langsung gas ke Sabah. Tiba di Kota Kinabalu, kita diinepkan oleh Pak Riky (staf KJRI yang menjadi narahubung kita selama persiapan KKN) di kantor KJRI selama 2 hari 2 malam. Tanggal 14 Januari, hari Ahad, kita baru disebar ke CLC masing-masing di distrik Keningau-Nabawan.
Saya sendiri pun ditempatkan di CLC SLDB Inandung bersama rekan sejodoh saya bernama Siti (tanggal, bulan, tahun lahir sama, satu kelompok AAI, satu prodi, satu kelompok magang, dan ini satu CLC pula). Kita janjian dengan Bu Nivo, pengelola CLC Inandung di Pasir Puteh dan kita diajaknya belanja dulu bahan-bahan sembako dan kebutuhan proker jika ada di Keningau karena tempat saya mengabdi jauh itu di ladang, jauh dari peradaban pasar. Setelah selesai belanja, kami pun langsung gas ke Belinin dengan diantar oleh Pak Sarip (kalo nggak salah namanya), staf KJRI juga. Jarak tempuh pusat bandar Keningau ke ladang Belinin sekitar satu setengah jam.
Saya kaget ketika sudah masuk kawasan KAV Belinin Division, jalannya terjal sekali. Saya beberapa kali kejedot kaca mobil karena saking terjalnya jalan. Kanan-kiri belukar macam hutan. Saya sempat meyakinkan diri saya berkali-kali. Inikah tempat saya hidup selama 40 hari ke depan? Kawasan Belinin benar-benar masuk hutan. Dari jalan raya bisa ditempuh sekitar satu jam-an jika ditempuh dengan mobil berkecepatan tinggi dan profesional. Gils…
Kedatangan kami langsung disambut anak-anak. Mereka menunggu kami yang katanya ibu guru KKN akan datang. Saya pun berkenalan dengan mereka, meski awalnya susah-susah ingat mengingat nama mereka. Di Belinin, rumah Bu Nivo (guru sekaligus pengelola CLC) sekaligus tempat kami menumpang dengan sekolah berdempetan. Jangan dibayangkan bangunannya terbuat dari tembok. Tidak. Rumah dan sekolah dibuat dari jeng (seng) sehingga suara anak-anak itu pasti terdengar jelas dari rumah Bu Nivo.
Saya tentu tidak bisa menceritakan satu per satu cerita, hari per hari bagaimana saya di sana karena akan membutuhkan waktu yang lama sekali. Saya di sana memang mengajar anak-anak TKI, tetapi kenyataannya sayalah yang justru banyak belajar dari mereka. Semangat mereka untuk belajar menjadi tamparan sendiri buat saya. Kami selalu adakan kelas petang pukul empat sore, tetapi mereka pukul tiga sudah siap dan kumpul di rumah. Kehidupan di ladang yang serba kekurangan. Kondisi air yang tidak menentu karena bukan dari sumber mata air. Kalau air habis, menunggu diisikan dulu atau diisikan air hujan. Air yang keruh seperti milo, sehari-hari mereka mandi, mencuci, dan buang air menggunakan air itu. Tempat yang jauh, masuk ke dalam hutan sehingga sinyal susah masuk. Anehnya, saya yang biasa hidup di kota dengan semua kenyamanannya, tidak tebersit untuk mengeluh sedikit pun. Padahal kalau di rumah sinyal jelek sedikit saja, saya bisa merajuk, nggak sabaran. Allah ternyata mengabulkan isi hati saya saat awal mendaftar Sabah 4,”Pilih KKN yang jauh. Sekali-kali merasakan nikmat hidup susah, jangan hidup enak terus.” Ya. Sejak awal saya memang sudah bertekad seperti itu, lalu diberikan tempat yang sesuai dengan kata hati saya. Terima kasih, Ya Allah..
Selain dari anak-anak, saya juga banyak belajar dari guru-guru yang tinggal di sana. Bu Nivo yang menjadi induk semang saya terutama. Dia mengajar di tiga sekolah (karena CLC Inandung membawahi izin dua sekolah, yaitu Punteh dan Belinin) sehingga harus rolling. Saya merasakan betapa susahnya menjadi dirinya harus bergantian mengajar di tiga sekolah dan itu jarak antar sekolah lumayan jauh, sekitar satu jam menggunakan mobil office. Apalagi Bu Nivo ini sendirian T_T. Kalau tidak ada saya dan Siti, Bu Nivo melakoni aktivitasnya ini sendirian. Benar-benar tangguh. Perjuangan yang sungguh mulia demi pendidikan anak-anak TKI yang belum pernah pulang, demi bisa mengenalkan mereka pada tanah airnya, demi bisa menumbuhkan cinta kepada Indonesia. Saya banyak terharu melihat perjuangan segenap guru yang bertugas di Inandung. “Yang penting mereka bisa baca dan menulis,” ucap Bu Suriani, guru lokal TKB Belinin. Beliau ini sangat peduli pendidikan anak-anak Belinin. Beliau juga sangat sabar dan telaten mengajari anak-anak yang belum sekolah membaca dan menulis sampai mereka bisa. Saya yang sering mengajar kelas satu pun tidak bisa sesabar beliau. Kalau ada anak yang belum bisa baca dan menulis meskipun sudah berulang kali diajari, saya marahi (maaf ya, nak… T_T). Dari situ saya tahu, menjadi guru itu tidaklah mudah. Makanya diciptakan lagu khusus untuk guru karena di tangan mereka masa depan anak-anak itu tergenggam. (Dengan ini saya mohon maaf untuk teman-teman saya dari FKIP, karena saya pernah meremehkan kalian, meskipun hanya dari hati T_T)
PascaKKN
Banyak drama mewarnai pascaKKn kami. Mulai dari drama “Lost in KL” hingga drama kepulangan. Saya sudah sering gembar-gembor di sosial media mengenai ini. Drama 28 Februari 2018 pukul 09.35 di KLIA 2 maskapai Air Asia jurusan KUL-JOG gate Q19. Saya tidak akan menceritakannya lagi, wkwkw.. intinya kata-kata “Akan selalu ada kejutan ketika kalian berada di jalan kebaikan,” memang terbukti. Dan saya mulai menempatkan Sabah #4 di ruang khusus dalam hidup saya. Sahabat yang (pernah) berjuang bersama. Bukan, ding. Keluarga malah.
Saya teringat sebuah celetukan usil orang (untungnya bukan teman yang saya kenal) yang nyinyir dan julid ke tim KKN kami. “Ngapain KKN di luar negeri? Di dalam negeri masih banyak yang perlu digali.” “Ngapan KKN jauh-jauh, KKN cuma 2 sks. Rugi.” Hei! Kebiasaan orang-orang julid ya lebih mendahulukan mengomentari daripada mencari tahu. Saya dan juga teman-teman Sabah #4 lainnya KKN tidak hanya untuk menuntaskan jumlah sks sebagai syarat skripsi, apalagi liburan. Ngeksis karena KKN di luar negeri. Tidak. Lhawong namanya aja KKN (Kuliah Kerja Nyata), di bawah pembinaan lembaga pengabdian kampus, kalau orientasinya dolan bukan KKN namanya ngger. Sebab dengan ini kami pun juga belajar, belajar sesuatu yang tidak pernah kami dapat di ruang kelas. Sabah adalah ruang belajar yang tidak bisa ditukar berapa pun jumlah sks. Rasanya nilai 100 saja masih kurang untuk menggambarkan tanah Sabah yang kuning dan rimbun akan hijau. Di sana kami belajar, terutama sekali belajar menjadi Indonesia. Taruhanlah, kita semua mendadak menjadi nasionalis ketika berada di tanah Sabah (padahal mah saya biasanya apatis sekali). Nama Indonesia sering menggema di dada. Dan itu…pengalaman yang akan selalu saya ingat dan tentu saya ceritakan kepada anak-cucu saya nanti.
Sekian secuil cerita tentang Sabah dari saya. Ini hanya secuil, karena masih banyak sekali cerita yang belum tersampaikan. Kapan-kapan disambung lagi ya. Dan di bawah ini adalah dokumentasi kami selama KKN.
Keberangkatan menuju Kuala Lumpur di Lanud Adi Soemarmo, Boyolali, pada tanggal 11 Januari 2018
Penyambutan di Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Kota Kinabalu, Sabah tanggal 13 Januari 2018.
Foto full team sebelum dipisah ke CLC masing-masing (yang ini pada nangis bombay haha)
Saya, Siti, dan Bu Nivo nebeng person (kendaraan ladang), hahaha…
Sama anak-anak CLC SLDB Inandung
Sama Bu Eka, guru lokal CLC Inandung (terima kasih ya Bu atas jamuannya selama lima hari, saya naik satu kilo hahaha)
Senin pertama upacara di Belinin. Memang tidak ada tiang, bahkan di semua CLC pun kondisinya sama karena itu bukan tanah mereka. Sedih ya 😦
TKB Belinin. Bangunan sekolah dengan dinding dari seng T_T
Bocil-bocil yang sering kumarahi karena susah diatur 😀
Dengan Bu Suriani dan Putri…
Tanah kuning cadas beserta hijaunya ladang Belinin yang selalu kurindu
Ruang kelas di Punteh. Sekolah ini hanya punya satu ruangan yang dihuni oleh 4 kelas.
Kunjungan DPL, Wakil Rektor 2 & 4 UNS, KJRI, dan dosen dari UMS (universitas sabah) di CLC Biah.
Di CLC Pasir Puteh
Pamit dengan KJRI (menjelang pulang ke Solo).
Bonus masuk berita di beberapa media dan kemenlu
Berita di kemenlu
Berita di RRI
Berita di uns.ac.id
Squad Full Team Sabah #4