Meski Singkat…

Sudah setahun berlalu. Namun aku tak bisa menghapus bayang-bayangnya dari kepala. Aku tidak pernah merasa selepas itu bercerita dengan seseorang. Hanya dengannya aku bisa merasa kelegaan yang belum pernah kurasakan. Meski singkat, namun malam-malam itu meninggalkan kesan yang sangat hebat. Bukan sepasang kekasih, tetapi kami bercerita layaknya sepasang kekasih yang tinggal berjauhan.

Kadang-kadang hati ini berkata: apakah dia orangnya? Setiap kali dia bercerita, aku merasakan koneksi yang tidak dapat dijelaskan, seolah aku telah lama mengenalnya cukup lama, padahal baru itu kami berkomunikasi intens sedemikian rupa. Dan aku pun juga merasa dialah satu-satunya yang mengerti aku–hingga aku bisa merasa lega, sangat lega setelah bercerita dengan seseorang. ia memang bukan orang yang sempurna, tetapi entah,,, aku menyukai apa pun tentangnya. Bila dia bukan untukku, setidaknya aku ingin hal itu terulang lagi, meski singkat…

Tuhan, Aku Lelah…

Tuhan, aku lelah menyimpan rasa sendiri

Tuhan, aku lelah mencintai sendirian dalam sunyi

Tuhan, izinkan aku untuk mendekap orang yang kucintai saat ini

Rasanya tidak adil, selama ini hanya aku yang merasainya sendirian

Aku kehilangan teman-temanku

Satu per satu sudah menemukan kekasih sejatinya

Kapan waktuku tiba, Tuhan?

Aku lelah, Tuhan

Apabila aku ditakdirkan untuk tak memiliki kekasih di dunia, maka jangan biarkan aku kesepian di hari tuaku

Itulah ketakutan terbesarku: kesepian di hari tua, di saat aku tidak lagi setangguh sekarang

Untuk apa memberiku rasa cinta, jika masih sama seperti yang sudah lalu, hanya bisa merasainya sendirian?

Tuhan, bantu aku menghilangkan perasaan ini, jika dia bukan orang yang tepat

Aku sudah melakukan bagianku untuk berikhtiar

Atau adakah maksud lain Kau menganugerahiku perasaan ini padanya?

Kau melihat semua, bagaimana susah payah aku meringkuk dalam air mata, sekuat tenaga untuk melupakan

Aku ingin ini yang terakhir, jika memang takdirku hanya bisa mencintai sendiri dalam sunyi

Puisi Sukmawati Tidak Menghina, Hanya…

29717469_1484448385011088_5763411722534649856_n

Ibu Indonesia

 

Aku tak tahu Syariat Islam
Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah
Lebih cantik dari cadar dirimu
Gerai tekukan rambutnya suci
Sesuci kain pembungkus ujudmu

Rasa ciptanya sangatlah beraneka
Menyatu dengan kodrat alam sekitar
Jari jemarinya berbau getah hutan
Peluh tersentuh angin laut

Lihatlah ibu Indonesia
Saat penglihatanmu semakin asing
Supaya kau dapat mengingat
Kecantikan asli dari bangsamu
Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif
Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia

Aku tak tahu syariat Islam
Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok
Lebih merdu dari alunan azan mu
Gemulai gerak tarinya adalah ibadah
Semurni irama puja kepada Illahi
Nafas doanya berpadu cipta
Helai demi helai benang tertenun
Lelehan demi lelehan damar mengalun
Canting menggores ayat ayat alam surgawi

Pandanglah Ibu Indonesia
Saat pandanganmu semakin pudar
Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu
Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini cinta dan hormat kepada ibu Indonesia dan kaumnya.

Puisi karya Sukmawati Soekarnoputri tersebut belakangan ramai diperbincangkan di beberapa media. Puisi tersebut viral karena disinyalir mempunyai muatan penghinaan terhadap agama Islam, agama mayoritas negara tercinta kita Indonesia. Betapa tidak, Sukmawati terang-terangan menyebut syariat Islam di dalam puisinya, serta menggunakan kata “cadar” dan “azan” sebagai perumpamaan. Umat mana yang tidak tersinggung agamanya disinggung? Apalagi ini menyangkut umat mayoritas.

Beberapa pakar sastra dan yang menyebut dirinya pakar sastra mulai ramai menganalasis makna yang terkandung dalam puisi berjudul Ibu Indonesia itu dengan sudut pandang analisis wacana kritis dan hermeneutik. Hasil analisisnya pun berbeda. Ada yang menyimpulkan puisi itu jelas telah menyinggung agama, tetapi ada juga yang menyimpulkan puisi tersebut hanyalah bagian dari bahasa sastra yang tinggi.

Saya, mahasiswa sastra yang saat ini sedang berjuang untuk segera lulus tepat waktu, juga tak kalah “gatal”nya melihat fenomena ini. Ilmu saya untuk teori analisis sastra memang belum semumpuni Anda-Anda, para pakar sastra yang menyebut dirinya pakar sastra, yang menyebut dirinya lebih memahami makna sastra dari orang awam, dan yang menyebut orang awam sebagai kaum baper dan sensitif. Hakikatnya memang sastra itu multitafsir, tergantung dari sudut pandang mana kita menganalisis. Analisis karya sastra juga tergantung dari sejauh mana kita memahami persoalan, mempelajarinya, dan referensi mana yang tentunya mempengaruhi hasil analisis kita.

Puisi karya Sukmawati ini cukup membuat perdebatan antara kaum yang pro dan kontra, yang seolah tak putus kalau dibahas terus-menerus. Kalau saya boleh menuduh dan berprasangka tanpa membawa keilmiahan dan dalil, bagi yang tidak begitu paham soal agama, maka mereka akan menganggap bahwa puisi ini hanya menggunakan bahasa perumpamaan, bahasa sastra yang tinggi, yang tidak bisa ditelan secara telanjang maknanya. Sementara bagi yang ilmu agamanya cukup, mereka akan menganggap puisi ini jelas menyinggung SARA.

Jika dicermati lagi tanpa pretensi adanya penghinaan, sebenarnya puisi ini bercerita bagaimana seorang budayawati Sukmawati ini begitu mengagumi keberagaman budaya Indonesia. Indonesia yang indah akan budayanya dengan nyanyian-nyanyian tradisi yang punya filosofinya dalam. Ia hanya menginginkan agar Indonesia tidak terpecah belah. Menegok kembali perjuangan almarhum bapaknya sebagai proklamator yang berhasil mempersatukan Nusantara yang beragam itu menjadi Indonesia yang satu. Tetapi yang menjadi persoalan adalah, Sukmawati menggunakan kata-kata “syariat Islam” “azan” dan “cadar” sebagai analogi untuk membandingkan keindahan budaya Indonesia.

Membandingkan budaya dengan syariat agama memang terlampau jauh kejomplangannya. Budaya itu produk manusia, sedangkan syariat agama itu dibuat oleh Sang Mahakuasa melalui ayat-ayatnya yang suci dan sabda utusan-Nya. Budaya bisa bergeser seiring perkembangan zaman, syariat itu paten, sejak dahulu sampai sekarang tidak pernah berubah. Husnuzon saja, puisi ini sebenarnya menggambarkan budaya dan syariat itu sama cantiknya.

Namun yang perlu digarisbawahi adalah puisi ini, secara penggunaan bahasa dan pemilihan diksinya, masih sangat lugu sehingga pemaknaan bisa jadi ditelan mentah-mentah. Coba bandingkan dengan puisi Joko Pinurbo berjudul “Celana Ibu” dalam buku kumpulan puisi Selamat Menunaikan Ibadah Puisi. Puisi tersebut menggunakan Yesus dan Maria sebagai tokohnya yang boleh jadi dianggap menghina, tetapi sebenarnya puisi itu hanya menceritakan tentang paskah, kenaikan Yesus Kristus ke surga.

Dikatakan menghina, sebenarnya puisi berjudul “Ibu Indonesia” ini tidak ditemukan unsur  menghina dalam setiap katanya. Ia hanya menyematkan analogi yang salah, yaitu “azan” dan “cadar” yang kemudian diperjelas lagi dengan pengakuan seolah-olah Sukmawati tidak tahu banyak syariat Islam dan tidak mau tahu tentang syariat Islam, padahal dia sendiri adalah pemeluk agama Islam. Dengan menyebut dengan jelas satu agama dalam puisinya, maka Sukmawati pun dikatakan telah menyinggung persoalan SARA.

Alangkah baiknya jika Sukmawati merenung dan bertapa dulu sebelum membuat puisi, memikirkan kembali perumpamaan yang tidak jomplang dengan budaya. Menyinggung agama dalam negeri ini adalah hal yang sensitif. Alangkah baiknya jika Sukmawati mendeskripsikan betapa indahnya menjadi Bhinneka Tunggal Ika dalam puisinya tanpa harus menyebut satu agama, tanpa penuduhan sebagai penista agama dalam berdakwah puisi.

Bersama Sabah #4: Sebuah Ruang Belajar yang Tak Bisa Diukur dengan Jumlah SKS

P_20180115_074016P_20180115_081705

Saya selalu ingat perkataan dari salah satu senior, kakak tingkat yang juga pernah KKN di Sabah periode sebelumnya, yang juga mengutip perkataan orang lain: “Akan selalu ada kejutan ketika kalian berada di jalan kebaikan.” Saya camkan kata-kata itu di lubuk hati saya, baik pra, saat, dan pascaKKN. Saya tidak pernah menyangka bahwa saya memilih pilihan yang tepat.

PraKKN

Sebelum ikut mendaftar menjadi bagian dari Sabah #4, saya sudah pernah mendengar cerita dari kakak dua tingkat di atas saya yang kebetulan satu prodi juga (Sabah #2 tepatnya) yang pernah KKN di Sabah. Ceritanya pun beragam. Dan yang paling saya ingat adalah bahwa di sana kesulitan air. Ia bahkan tidak mandi beberapa hari karena sulitnya menjangkau air bersih. Well, hmm,..saya cukup ngeri. Dia juga bercerita kalau di sana ia mengajar anak-anak TKI yang ilegal. Ilegal? Well, saya menelan ludah. Tapi kemudian ia bilang begini,”Di hari-hari terakhir, aku nggak mau pulang. Aku pengen di sini terus.”

Pikir saya waktu itu, keren ya Mbaknya bisa KKN di Sabah. Pasti seleksinya ketat. Apakah saya kelak bisa kayak Mbaknya ya? KKN di Sabah? Ah, ngimpi… (waktu saya mikir kayak gini, saya masih di semester 4).

Lalu di akhir semester 6 (ketika saya masih hectic mengurusi magang), saya pernah nyeletuk ke teman saya,“Aku pengen KKN ning perbatasan (Saya pengen KKN di perbatasan).” Teman saya tanya,”Neng ndi, Vi? (di mana?)“Perbatasan Kalimantan ngono kaelah (perbatasan Kalimantan gitulah).” Pada saat saya mengucapkan itu, saya tidak terpikir akan Sabah. Siapa sangka, celetukan itu nyatanya menjadi kenyataan. Saya pun percaya ucapan adalah doa.

Masuk bulan Juni 2017, tepatnya akhir bulan. Saya iseng stalking ig @bersamasabah (sekalian branding, wkwk), dan kebetulan mereka sedang oprec untuk KKN periode Januari-Februai 2018. Saya sempat mikir dulu beberapa jam, sebelum akhirnya saya membuka laptop dan menyambungkannya dengan internet, lalu mengisi form di web bersamasabah.uns.ac.id, dengan niat dan tekad bahwa saya peduli pendidikan anak-anak TKI di Sabah. Saya ingin mengenalkan mereka kepada Indonesia. Duh, tiba-tiba saya jadi nasionalis sekali waktu itu. Saya mendaftar itu ya cuma iseng-iseng nyoba. Karena pikir saya KKN di luar negeri, pasti banyak yang daftar, dan ada seleksinya. Seleksinya pasti ketat. Waktu itu saya sudah pasrah. Ya sudah, kalau tidak diterima saya pilih KKN reguler saja.

Saya ingat, tanggal 5 Juli 2017 saya mendapat jarkoman untuk pertemuan perdana squad Sabah #4. Wew! Langsung ketemu aja nih? Nggak ada seleksinya? Saya coba baca berulang kali jarkoman itu, memang nggak ada bunyi “SELEKSI/SCREENING” tapi “PERTEMUAN PERDANA DAN SHARING2 DENGAN ALUMNI”, dari situ pun saya tahu, saya diterima jadi anggota KKN Sabah periode 4.

Sudah dapat jarkoman, saya belum izin ke ibu saya. Baru beberapa hari kemudian, saya bilang ke ibu saya. Awalnya deg-degan, sebab takut kalau ternyata ibu tidak mengizinkan, padahal saya sudah niat sekali mau ikut. Di luar negeri lho, jauh lho. Saya anak rumahan dan nggak pernah keluar, paling jauh cuma ke Jakarta. Tapi seperti perkiraan saya, ibu saya orangnya demokratis. Membebaskan pilihan kepada anaknya, asal bisa jaga diri. YEEY! Kalau sudah mengantongi restu ibu itu rasanya sudah lega. Mau ngegas aman.

Pertemuan perdana diadakan tanggal 10 Juli 2017 di Aula Taman Cerdas. Saya pikir yang datang banyak, ternyata cuma sebelas orang. Banyak ceweknya. Lakinya satu doang. Di daftar presensi, cuma ada 12 orang, dan kuota untuk KKN mandiri ada 20 orang. Ya Allah, cuma segini yang daftar? Pantes nggak ada screening. Padahal ini KKN di luar negeri. Masa nggak ada yang minat. Pertemuan itu pun diisi dengan perkenalan nama, asal prodi, aktivitas, dan alasan daftar KKN Sabah 4. Bagian alasan, saya menjawab,“Sudah panggilan hati, Mas..Mbak.” 

Jadilah kita ber-12 sibuk mengadakan oprec gelombang dua untuk Sabah #4. Semasa itu juga melewati berbagai drama keluarnya satu per satu anggota karena terganjal restu orang tua hingga menyisakan 9 orang. Singkat cerita, 11 orang pun terpilih.

Belum selesai juga drama dan baru awal perjalanan, satu anggota keluar karena faktor finansial (dia teman sebidang dan seprodi dengan saya. Saya yang nyulut kompor ke dia supaya ikut, wkwk). Masih ada waktu sekitar 2 bulan buat kita ber-19 untuk mempersiapkan diri berangkat ke Sabah. Tapi di tengah perjalanan, lagi-lagi satu anggota keluar karena dia mau kejuaraan dan mengharuskan dia KKN di Solo. Awalnya berat, karena dia yang mengurusi tiket sponsor. Tapi ya sudahlah, ini terkait masa depannya juga. Tapi dari situ saya mulai takut, jangan-jangan setelah ini ada juga yang pengen keluar. Jujur saja saat seperti itu saya juga sudah mulai patah semangat. Tim yang kurang solid (danusan dan kumpul rapat tidak pernah datang full team) ditambah drama keluarnya si X untuk ikut kejurnas membuat saya berpikir,”Saya juga pengen keluar. Ikut KKN reguler aja.” Tapi di situ saya mikir, sudah hampir tiga perempat jalan, kurang dari dua bulan lagi sudah berangkat. Dan, sudah telat banget untuk daftar KKN reguler. Apalagi di tim ini saya jadi bendahara, sudah megang duit lumayan banyak. Kalau saya keluar, trus siapa yang mau megang uang? Nggak ada yang bersedia, wkwk. Dan rumah saya pun dijadikan basecamp. Pupus sudah keinginan untuk keluar. Bye… 

KKN 

Kita ber-18 berangkat tanggal 11 Januari dari Solo menuju Kuala Lumpur, dan bermalam dulu di Kuala Lumpur. Tanggal 12nya, kita langsung gas ke Sabah. Tiba di Kota Kinabalu, kita diinepkan oleh Pak Riky (staf KJRI yang menjadi narahubung kita selama persiapan KKN) di kantor KJRI selama 2 hari 2 malam. Tanggal 14 Januari, hari Ahad, kita baru disebar ke CLC masing-masing di distrik Keningau-Nabawan.

Saya sendiri pun ditempatkan di CLC SLDB Inandung bersama rekan sejodoh saya bernama Siti (tanggal, bulan, tahun lahir sama, satu kelompok AAI, satu prodi, satu kelompok magang, dan ini satu CLC pula). Kita janjian dengan Bu Nivo, pengelola CLC Inandung di Pasir Puteh dan kita diajaknya belanja dulu bahan-bahan sembako dan kebutuhan proker jika ada di Keningau karena tempat saya mengabdi jauh itu di ladang, jauh dari peradaban  pasar. Setelah selesai belanja, kami pun langsung gas ke Belinin dengan diantar oleh Pak Sarip (kalo nggak salah namanya), staf KJRI juga. Jarak tempuh pusat bandar Keningau ke ladang Belinin sekitar satu setengah jam.

Saya kaget ketika sudah masuk kawasan KAV Belinin Division, jalannya terjal sekali. Saya beberapa kali kejedot kaca mobil karena saking terjalnya jalan. Kanan-kiri belukar macam hutan. Saya sempat meyakinkan diri saya berkali-kali. Inikah tempat saya hidup selama 40 hari ke depan? Kawasan Belinin benar-benar masuk hutan. Dari jalan raya bisa ditempuh sekitar satu jam-an jika ditempuh dengan mobil berkecepatan tinggi dan profesional. Gils… 

Kedatangan kami langsung disambut anak-anak. Mereka menunggu kami yang katanya ibu guru KKN akan datang. Saya pun berkenalan dengan mereka, meski awalnya susah-susah ingat mengingat nama mereka. Di Belinin, rumah Bu Nivo (guru sekaligus pengelola CLC) sekaligus tempat kami menumpang dengan sekolah berdempetan. Jangan dibayangkan bangunannya terbuat dari tembok. Tidak. Rumah dan sekolah dibuat dari jeng (seng) sehingga suara anak-anak itu pasti terdengar jelas dari rumah Bu Nivo.

Saya tentu tidak bisa menceritakan satu per satu cerita, hari per hari bagaimana saya di sana karena akan membutuhkan waktu yang lama sekali. Saya di sana memang mengajar anak-anak TKI, tetapi kenyataannya sayalah yang justru banyak belajar dari mereka. Semangat mereka untuk belajar menjadi tamparan sendiri buat saya. Kami selalu adakan kelas petang pukul empat sore, tetapi mereka pukul tiga sudah siap dan kumpul di rumah. Kehidupan di ladang yang serba kekurangan. Kondisi air yang tidak menentu karena bukan dari sumber mata air. Kalau air habis, menunggu diisikan dulu atau diisikan air hujan. Air yang keruh seperti milo, sehari-hari mereka mandi, mencuci, dan buang air menggunakan air itu. Tempat yang jauh, masuk ke dalam hutan sehingga sinyal susah masuk. Anehnya, saya yang biasa hidup di kota dengan semua kenyamanannya, tidak tebersit untuk mengeluh sedikit pun. Padahal kalau di rumah sinyal jelek sedikit saja, saya bisa merajuk, nggak sabaran. Allah ternyata mengabulkan isi hati saya saat awal mendaftar Sabah 4,”Pilih KKN yang jauh. Sekali-kali merasakan nikmat hidup susah, jangan hidup enak terus.” Ya. Sejak awal saya memang sudah bertekad seperti itu, lalu diberikan tempat yang sesuai dengan kata hati saya. Terima kasih, Ya Allah..

Selain dari anak-anak, saya juga banyak belajar dari guru-guru yang tinggal di sana. Bu Nivo yang menjadi induk semang saya terutama. Dia mengajar di tiga sekolah (karena CLC Inandung membawahi izin dua sekolah, yaitu Punteh dan Belinin) sehingga harus rolling. Saya merasakan betapa susahnya menjadi dirinya harus bergantian mengajar di tiga sekolah dan itu jarak antar sekolah lumayan jauh, sekitar satu jam menggunakan mobil office. Apalagi Bu Nivo ini sendirian T_T. Kalau tidak ada saya dan Siti, Bu Nivo melakoni aktivitasnya ini sendirian. Benar-benar tangguh. Perjuangan yang sungguh mulia demi pendidikan anak-anak TKI yang belum pernah pulang, demi bisa mengenalkan mereka pada tanah airnya, demi bisa menumbuhkan cinta kepada Indonesia. Saya banyak terharu melihat perjuangan segenap guru yang bertugas di Inandung. “Yang penting mereka bisa baca dan menulis,” ucap Bu Suriani, guru lokal TKB Belinin. Beliau ini sangat peduli pendidikan anak-anak Belinin. Beliau juga sangat sabar dan telaten mengajari anak-anak yang belum sekolah membaca dan menulis sampai mereka bisa. Saya yang sering mengajar kelas satu pun tidak bisa sesabar beliau. Kalau ada anak yang belum bisa baca dan menulis meskipun sudah berulang kali diajari, saya marahi (maaf ya, nak… T_T). Dari situ saya tahu, menjadi guru itu tidaklah mudah. Makanya diciptakan lagu khusus untuk guru karena di tangan mereka masa depan anak-anak itu tergenggam. (Dengan ini saya mohon maaf untuk teman-teman saya dari FKIP, karena saya pernah meremehkan kalian, meskipun hanya dari hati T_T)

PascaKKN 

Banyak drama mewarnai pascaKKn kami. Mulai dari drama “Lost in KL” hingga drama kepulangan. Saya sudah sering gembar-gembor di sosial media mengenai ini. Drama 28 Februari 2018 pukul 09.35 di KLIA 2 maskapai Air Asia jurusan KUL-JOG gate Q19. Saya tidak akan menceritakannya lagi, wkwkw.. intinya kata-kata “Akan selalu ada kejutan ketika kalian berada di jalan kebaikan,” memang terbukti. Dan saya mulai menempatkan Sabah #4 di ruang khusus dalam hidup saya. Sahabat yang (pernah) berjuang bersama. Bukan, ding. Keluarga malah.

Saya teringat sebuah celetukan usil orang (untungnya bukan teman yang saya kenal) yang nyinyir dan julid ke tim KKN kami. “Ngapain KKN di luar negeri? Di dalam negeri masih banyak yang perlu digali.” “Ngapan KKN jauh-jauh, KKN cuma 2 sks. Rugi.” Hei! Kebiasaan orang-orang julid ya lebih mendahulukan mengomentari daripada mencari tahu. Saya dan juga teman-teman Sabah #4 lainnya KKN tidak hanya untuk menuntaskan jumlah sks sebagai syarat skripsi, apalagi liburan. Ngeksis karena KKN di luar negeri. Tidak. Lhawong namanya aja KKN (Kuliah Kerja Nyata), di bawah pembinaan lembaga pengabdian kampus, kalau orientasinya dolan bukan KKN namanya ngger. Sebab  dengan ini kami pun juga belajar, belajar sesuatu yang tidak pernah kami dapat di ruang kelas. Sabah adalah ruang belajar yang tidak bisa ditukar berapa pun jumlah sks. Rasanya nilai 100 saja masih kurang untuk menggambarkan tanah Sabah yang kuning dan rimbun akan hijau. Di sana kami belajar, terutama sekali belajar menjadi Indonesia. Taruhanlah, kita semua mendadak menjadi nasionalis ketika berada di tanah Sabah (padahal mah saya biasanya apatis sekali). Nama Indonesia sering menggema di dada. Dan itu…pengalaman yang akan selalu saya ingat dan tentu saya ceritakan kepada anak-cucu saya nanti.

Sekian secuil cerita tentang Sabah dari saya. Ini hanya secuil, karena masih banyak sekali cerita yang belum tersampaikan. Kapan-kapan disambung lagi ya. Dan di bawah ini adalah dokumentasi kami selama KKN.

IMG-20180111-WA0005

Keberangkatan menuju Kuala Lumpur di Lanud Adi Soemarmo, Boyolali, pada tanggal 11 Januari 2018

DSC_0357[1].JPG

Penyambutan di Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Kota Kinabalu, Sabah tanggal 13 Januari 2018.

IMG-20180114-WA0006

Foto full team sebelum dipisah ke CLC masing-masing (yang ini pada nangis bombay haha)

IMG-20180119-WA0006

Saya, Siti, dan Bu Nivo nebeng person (kendaraan ladang), hahaha…

P_20180128_082456_BF[1]

Sama anak-anak CLC SLDB Inandung

P_20180128_093553[1]

P_20180130_084414_BF[1]

Sama Bu Eka, guru lokal CLC Inandung (terima kasih ya Bu atas jamuannya selama lima hari, saya naik satu kilo hahaha)

P_20180115_074023

Senin pertama upacara di Belinin. Memang tidak ada tiang, bahkan di semua CLC pun kondisinya sama  karena itu bukan tanah mereka. Sedih ya 😦

P_20180115_103508

TKB Belinin. Bangunan sekolah dengan dinding dari seng T_T

P_20180116_071139

Bocil-bocil yang sering kumarahi karena susah diatur 😀

P_20180117_180653_BF

Dengan Bu Suriani dan Putri…

P_20180117_180638

Tanah kuning cadas beserta hijaunya ladang Belinin yang selalu kurindu

P_20180122_083745

Ruang kelas di Punteh. Sekolah ini hanya punya satu ruangan yang dihuni oleh 4 kelas.

IMG-20180207-WA0017

Kunjungan DPL, Wakil Rektor 2 & 4 UNS, KJRI, dan dosen dari UMS (universitas sabah) di CLC Biah.

berita_494693_800x600_IMG-20180223-WA0080[1]

Di CLC Pasir Puteh

KKN_UNS2-2018[1]

Pamit dengan KJRI (menjelang pulang ke Solo).

Bonus masuk berita di beberapa media dan kemenlu

28378146_10211431978381895_7624068406196074462_n[1]

Berita di kemenlu

Screenshot_20180319-182814[1]

Berita di RRI

Screenshot_20180319-182835[1]

Berita di uns.ac.id

IMG-20180207-WA0022IMG-20180207-WA0046[1]

Squad Full Team Sabah #4

 

Empati Bukan Hanya Milik Psikolog

 

 

 

 

Pada 18 Desember lalu, dunia dihebohkan dengan berita salah satu anggota boygroup korea populer, Jonghyun SHINee yang meninggal karena menghirup gas karbon monoksida dari briket batubara yang terbakar di atas penggorengan. Seluruh shawol (sebutan fans SHINee) dan pecinta kpop ramai-ramai menuliskan belasungkawanya.

Jonghyun dipastikan bunuh diri karena sebelum ia ditemukan tewas di apartemennya, ia sempat mengirimkan pesan perpisahan kepada kakak perempuannya. Membaca pesan yang dikirimkan adiknya itu, kakak Jonghyun langsung menghubungi polisi untuk mengecek apartemen adiknya. Sayangnya, polisi datang terlambat. Nyawa Jonghyun tidak tertolong saat perjalanan ke rumah sakit.

Berbagai macam orang di belahan dunia turut menuliskan ucapan belasungkawanya, baik dari sesama artis Korea maupun bukan artis Korea. Namun, ada saja oknum tak punya empati yang memanfaatkan berita duka ini sebagai suatu candaan. Salah satunya adalah akun Meme Comic Indo yang kurang lebih menuliskan tweet seperti ini (tweet ini sudah dihapus, dan saya juga malas tangyar tweetnya, buat apa dah..)

Ribuan orang palestina dibunuh, kalian diam 

1 plastik bunuh diri, semua menangis (1) 

 

Sudah sudah, jangan sedih karena plastik bisa didaur ulang (2)

 

Lalu di sebuah acara musik teve pula, saya turut menemukan host acara teve tersebut membuat lelucon atas kematian Jonghyun. Isinya kurang lebih sebagai berikut.

“Eh, kemarin ada artis Korea yang meninggal ya? Jonghun..Jonghun..sine..sine.” 

“Iya, datang tahlilan nggak?”

Anda boleh sebut fans kpop itu alay, norak, dan kampungan. Anda juga boleh benci kpop. Tidak ada yang melarang. Tapi apakah pantas kematian seseorang dijadikan bahan guyon? Apakah sudah tidak ada rasa empati dalam hati Anda?

Oke, sudah sudah. Move on! Inti tulisan ini sebenarnya tidak cuma membicarakan tentang kematian Jonghyun saja. Hal yang akan saya bahasa di sini adalah perihal empati akan rasa depresi seseorang. Seperti yang sudah kita tahu, Jonghyun bunuh diri karena depresi yang sudah lama ia alami. Semenjak debut sebagai komposer, lagu-lagu yang diciptakan Jonghyun hampir semua bercerita tentang depresi selama empat tahun belakangan. Well, karena ini juga, banyak yang tiba-tiba membahas tentang depresi dan bahayanya. Semacam aware karena depresi bisa menyerang siapa saja, dan tentunya lebih berbahaya.

(Sebelumnya, saya mohon maaf bila nantinya saya menuliskan hal-hal yang tidak sesuai dengan ilmu psikologi. Saya menulis berdasarkan apa yang saya amati dan sedikit membaca dari buku-buku psikologi. Mohon koreksinya bila saya salah. Saya akan sangat senang bila kita saling bertukar pikiran)

Komponen pembentuk diri kita ada dua, yaitu fisik dan mental. Keduanya saling terikat dan tidak bisa lepas satu sama lain. Bayangkan jika kita hanya punya fisik tanpa mental, atau sebaliknya. Bukankah Allah sudah memperhitungkan semuanya sebelum menciptakan manusia? Ketika kita sakit fisik, perlahan juga akan mempengaruhi kondisi mental kita. Begitu pun ketika mental kita terganggu, tanpa sadar fisik kita juga ikut lemah. Contohnya mendadak sakit saat sedang stres skripsi.

Penyakit mental memang tidak boleh dianggap remeh. Ada dua hal yang akan terjadi bila seseorang mengidap depresi Pertama, orang itu bisa bertahan dan memberikan pengaruh yang positif kepada orang lain. Kedua, orang itu akan mengalami yang namanya perilaku abnormal, termasuk tindakan bunuh diri.

Saya sering menemukan ketika ada seseorang yang sedang depresi dan dia membutuhkan tempat untuk bercerita, orang yang dicurhati tidak memberikan respon yang baik, ia justru semakin membuat orang tersebut tertekan. Contoh: “Kamu harusnya bersyukur. Masih banyak orang yang lebih menderita dari kamu.” “Begitu saja sudah putus asa. Jangan lemah.” “Solatmu kurang kusyuk. Kamu kurang baca Alquran.” 

Well, memang asumsi kita tentang orang depresi adalah demikian. Ya, itu tidak salah. Tapi apakah etis bila diucapkan terang-terangan kepadanya, sedang dia juga membutuhkan penyemangat. Apalagi kalau sudah di taraf depresi parah, satu pikiran yang tebersit hanyalah bunuh diri. Lalu kita dengan entengnya bilang,“Bunuh diri itu dosa! Penderitaan kamu memang berakhir di dunia, tapi di akhirat kamu akan lebih menderita.”

Saya jadi ingat ada sebuah kutipan berkata:

Kebanyakan orang mendengar untuk menanggapi, bukan untuk memahami

Kita terburu-buru untuk menanggapi. Kita tidak benar-benar mendengar. Ini yang salah. Dan akhirnya kita jadi terkesan menghakimi padahal sebenarnya niatnya bagus untuk memberinya semangat tapi jadi salah hanya karena komposisi kalimat yang salah. Jika kita punya asumsi yang demikian, tolong, tahan dulu asumsi itu. Jangan buru-buru dikeluarkan.

Menghadapi orang yang tengah depresi memang memerlukan empati yang tinggi agar kita bisa memahami apa yang ia rasakan. Empati bukan hanya milik psikolog dan psikiater, tetapi milik kita. Semua orang bisa berempati. Jika ada orang yang datang ke Anda dengan keperluan mencurahkan depresinya, berikan kata-kata penyemangat yang sejuk. Jika takut ngomong kayak saya, ya, dengarkan saja, toh batas kita cuma sampai di sini saja sebagai orang awam. Penanganan sepenuhnya diserahkan kepada psikiater dan psikolog.

Jadi bila ada artis Kpop yang meninggal, jangan mentang-mentang lo benci Kpop, trus lo nggak ada empati dan malah nyinyirin plastik, kafir, dan menghubungkan kematian karena keputusasaan dengan jihad Palestina, sumpah itu goblok ada seseorang yang depresi, taruh dulu asumsi penghakiman Anda. Letakkan empati Anda. Karena orang-orang seperti itu butuh dirangkul. Rangkul dia, meski dia tidak meminta untuk dirangkul.


nb: Saya tertarik dengan dunia psikologi, khususnya yang membahas psikologi abnormal, bahkan saya jadikan topik skripsi saya dengan tetap mengacu pada karya sastra. InsyaAllah (semoga menjadi doa), saya ingin meneruskan strata dua saya ke jurusan psikologi. Jika ada pilihan untuk terlahir kembali, maka saya akan memilih psikiater sebagai profesi saya.

 

Perempuan dan Isu Politik dalam Cerpen “Neka” Karya Eep Saefullah Fatah (Analisis Feminisme Multikultutal dan Global)

Perempuan dan Isu Politik

dalam Cerpen “Neka” Karya Eep Saefullah Fatah

(Analisis Feminisme Multikultutal dan Global)

 

Corvi Al Russida

 

Pendahuluan

Peran perempuan dalam sastra baru diperhitungkan ketika Ayu Utami “menggebrak” dunia sastra Indonesia dengan karyanya berjudul Saman. Para kritikus sastra menanggapi dengan respon baik Saman karena Ayu Utami dinilai berani melanggar batas-batas keperempuanan yang sebelumnya disangsikan. Baru setelah era reformasi, banyak penulis perempuan mulai bermunculan dan hingga kini semakin banyak jumlahnya.

Pada era-era sebelumnya, pengarang perempuan hampir tidak mendapatkan perhatian. Hanya sedikit pengarang perempuan yang kala itu dikenal. Kita semua tahu N.H. Dini dan Titis Basino, dua pengarang perempuan yang telah menelurkan karya sastra sebelum era Ayu Utami, tetapi tidak banyak mendapatkan perhatian. Persoalan yang sering muncul dalam sastra yang berhubungan dengan perempuan di antaranya adalah (1) Perempuan jarang ataupun bahkan hampir tidak pernah disebutkan dalam sejarah sastra, (2) Umumnya perempuan dihadirkan dengan berbagai cara yang merugikan perempuan dalam karya sastra, dan (3) Penulis perempuan selalu dipandang sebagai kelas minor atau kelompok kedua dalam tradisi sastra (Susanto, 2016: 179).

Selain dalam ranah sastra, pada era sekarang, semakin banyak perempuan yang terlibat dalam kancah politik, baik itu secara langsung seperti mencalonkan diri sebagai anggota legislatif maupun secara tidak langsung. Perempuan telah memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk mengembangkan dirinya. Tidak ada lagi batas yang mengatakan bahwa perempuan merupakan kelas inferior dan kelas minoritas. Meskipun begitu, tidak bisa dipungkiri tetap saja masih ada pandangan bahwa sejauh apa pun perempuan melangkah menyejajari laki-laki dalam hal persamaan perolehan hak, perempuan memang selalu dianggap tidak bisa melakukan apa yang bisa dilakukan oleh laki-laki.

Perempuan dan politik menjadi isu utama yang diangkat Eep Saefullah Fatah dalam cerpennya berjudul “Neka” yang diterbitkan oleh Kompas pada tahun 2014. Cerpen tersebut bercerita tentang seseorang bernama Neka, gadis asal Timor Timur yang kuliah di Jakarta, yang harus mengalami pergulatan batin memilih sebagai warga Timor Timur yang baru merdeka atau sebagai warga Indonesia. Neka adalah gambaran korban pro-integrasi Timor Timur yang harus rela menyerahkan dirinya akibat pertentangan politik antara dua bangsa.

Feminisme Multikultural dan Global

            Feminisme multikultural dan global memandang perempuan sebagai Diri yang terpecah. Keterpecahan ini umumnya bersifat rasial daripada seksual dan psikologis. Feminisme multikultural memandang bahwa dalam satu negara semua perempuan tidak diciptakan secara setara. Hal tersebut bergantung pada ras dan kelas serta kecenderungan seksual, agama, pekerjaan, usia, status perkawinan, pendidikan, kesehatan, di mana setiap perempuan akan mengalami opresi sebagai perempuan secara berbeda pula.

Feminisme global berfokus pada hasil opresif dari kebijakan dan praktik kolonial dan nasionalis; bagaimana Peremerintahan Besar dan Bisnis Besar membagi dunia ke dalam apa yang disebut sebagai Dunia Pertama dan Dunia Ketiga. Feminisme global menekankan bahwa “opresi terhadap perempuan di satu bagian dunia seringkali disebabkan oleh apa yang terjadi di bagian dunia yang lain, dan bahwa tidak akan ada perempuan yang bebas hingga semua kondisi opresi terhadap perempuan dihancurkan di mana pun juga.” (Tong, 2006: 330).

Bagi feminis global, apa yang personal dan apa yang politis adalah satu (Tong, 2006: 332). Feminisme global berteori bahwa menyetarakan penalaran relativisme etis menuju absolutisme etis dari banyak dan beragam pandangan perempuan yang menyatu (Tong, 2006: 347-349). Oleh sebab itu, sebelum mendeklarasikan wacana serta isu tentang perempuan harusnya mereka bertanya pada diri sendiri apakah gerakan mereka sudah sesuai dengan fungsi, makna, serta kebutuhan dalam diri perempuan.

Fokus utama yang disampaikan oleh kaum feminisme multikultural dan global adalah perjuangan yang dihubungkan dengan persoalan politik dan bukan berfokus pada isu gender. Yang menjadi pertanyaan adalah “isu perempuan atau isu politik” (Susanto, 2016: 187).    

Meskopun feminis global bersikeras bahwa semua perempuan saling berkaitan, mereka memperingatkan bahwa untuk memahami apa yang menyatuhkan perempuan, maka pertama-tama harus memahami apa yang membedakan mereka. Perempuan tidak dapat bekerja sama sebagai manusia yang “sejajar” untuk menyelesaikan isu-isu yang berhubungan dengan mereka, kecuali jika perempuan pertama-tama menyadari kedalaman perbedaan mereka (Tong, 2016: 333).

Ambivalensi Nasionalisme Neka

            Pada cerpen berjudul “Neka” karya Eep Saefullah Fatah ini, tokoh Neka digambarkan sebagai warga Timor Timur yang berintegrasi ke Jakarta. Jakarta dianggap sebagai “pusat peradaban” dan oleh karena itu Neka memilih melanjutkan kuliahnya di Jakarta.

Pergulatan politik yang saat itu dialami oleh Indonesia dan Timor Timur membuat Neka seolah memiliki sikap mendua. Meskipun ia tergabung dalam kelompok aktivis pro-integrasi Jakarta, nyatanya ia masih menunjukkan bentuk sikap ambivalensi. Hal tersebut tergambar pada kutipan deskripsi yang dibuat oleh tokoh Aku. Neka merasa bahwa Jakarta sebagai pusat pemerintahan telah membuat banyak kebijakan yang menganaktirikan Timor Timur sebagai “anak kandung” Indonesia. Tetapi di sisi lain, Neka menyatakan dengan tegas bahwa integrasinya ke Jakarta adalah pilihan terbaik bagi Timor Timur.

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa warga asli Tanah Timor memandang dirinya sebagai masyarakat “dunia ketiga” dari bangsa yang juga dipandang “dunia ketiga” dari perspektif global. Perasaan ketertindasan itu dirasakan karena pemerintah memberikan kebijakan yang tidak adil bagi rakyat Timor Timur sehingga mereka menghendaki untuk melepaskan diri dari Indonesia. Namun demikian, mereka masih menganggap bahwa Jakarta adalah “pusat peradaban”, pusat segala sesuatu, dan hal itu membuat mereka (mahasiswa yang berkesempatan mengenyam sekolah di Ibukota seperti Neka) sekaligus merasa lebih maju dari teman-temannya yang tidak mengenyam pendidikan di Jakarta.

Adapun dalam hati Neka juga menginginkan adanya kemerdekaan bagi bangsanya yang dianaktirikan. Kemerdekaan Timor Leste telah menumbuhkan perasaan benci sekaligus rindu pada Indonesia. Ketika dirinya harus pulang karena ayahnya sakit, Neka dilanda ketakutan. Timor Leste menjadi kampung halaman yang asing baginya.

Mahasiswa pro-integrasi seperti Neka dan temannya, Lopez, merupakan ancaman bagi para pro-kemerdekaan. Hal ini tergambar saat Lopez menyuarakan untuk merdeka dari orang-orang yang menyebut diri pejuang kemerdekaan Timor Leste. Menurutnya, mereka hanya ingin menjajah aktivis seperti Lopez dengan mengatasnamakan rakyat. Demikianlah yang disampaikan Lopez dalam pidatonya. Setelah ia melakukan pidatonya, Lopez pun ditemukan tewas karena ditikam di dada.

Isu politik-nasionalisme memang menjadi isu yang sensitif. Isu-isu tersebut banyak memunculkan sikap ambivalensi atau perasaan benci tetapi rindu terhadap negaranya sendiri. Kita ingat salah salah satu sastrawan eksil kita yang bernama Utuy Tatang Sontani yang melahirkan sebuah cerpen berjudul “Anjing” yang merepresentasikan kekesalannya kepada pemerintah Indonesia yang telah “membuang”nya ke luar negeri. Karya tersebut merepresentasikan rasa benci sekaligus rindunya terhadap Ibu Pertiwi. Sikap ambivalensi seperti ini banyak ditemukan pada karya-karya sastrawan eksil lainnya seperti Sitor Situmorang, Pramoedya Ananta Toer, dan lain-lain.

Sentimen ras dan golongan agaknya menjadi bahasan yang menarik sekaligus menimbulkan pro dan kontra di negara ini. Bangsa yang terdiri dari beragam suku, ras, agama, dan golongan ini rupanya memiliki budaya senang membicarakan keberagamannya meskipun dari luar tampak bahwa bangsa ini sangat toleran dengan keberagamannya. Isu-isu komunis dan keturunan Cina di negara ini menjadi sentimen yang kental dengan suasana politik. Banyak oknum tertentu yang memanfaatkan sentimen tersebut untuk menjatuhkan lawan politik. Terlepas dari itu, budaya senang membicarakan keberagaman ini juga tergambar pada cerpen berjudul “Neka”. Neka, oleh teman-teman kampusnya, dianggap berbeda karena ia bukan berasal dari tanah Jawa.

 

 

Keterlibatan Perempuan dalam Pergulatan Politik Dua Bangsa

Neka digambarkan sebagai sosok yang pendiam, tetapi sangat antusias ketika ia berdiskusi tentang masa depan Timor Timur. Seperti yang dideskripsikan Dina, tokoh yang menjadi pencerita, Neka menyimpan banyak pergulatan batin di balik ketenangannya. Hal itu tergambar dari beberapa diari Neka yang ditemukan oleh Dina di lemari Neka. Ia dilanda kebimbangan ketika harus memilih pulang untuk ayahnya yang sedang sakit, atau memilih bertahan di Jakarta melanjutkan kuliahnya. Apalagi, Neka tercatat sebagai mahasiswa yang pro-integrasi, yang artinya, ia lebih memilih Indonesia daripada kemerdekaan Timor Leste.

Meskipun Neka belum memiliki peran besar dalam ranah politik yang lebih masif, tetapi kepeduliannya terhadap nasib keterpecahan “ibu” dengan “anak”nya itu sudah merupakan langkah awal yang baik untuk seorang perempuan muda seperti Neka. Ditambah seting cerita yang juga menggambarkan era akhir kekuasaan Soeharto setelah 32 tahun lamanya berkuasa, sehingga background konflik politik dalam cerpen “Neka” begitu kental terasa.

Keterlibatan perempuan dalam politik, dalam hal ini adalah Neka, memang masih memiliki peranan yang kecil, yang hanya sebatas pengungkapan ide-ide dan belum sampai pada tahapan orasi. Namun, setidaknya dengan peran yang kecil itu, posisi Neka yang berada di antara dua bangsa yang terpecah menjadi bukti perjuangannya melawan sikap ambivalensi dalam dirinya. Sebagai warga Timor Timur yang mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Jakarta, Neka tentu memiliki pandangan yang berbeda dengan orang-orang yang pro-kemerdekaan. Di sisi lain, tanah tersebut merupakan tempat kelahiran dan tempat tinggalnya. Timor Timur, yang saat ini sudah menjadi Timor Leste bagaimana pun juga adalah kampung halamannya. Keluarganya tinggal di sana, tak terkecuali ayahnya yang sedang sakit. Apalagi ketika Neka mendapat surat dari ibunya di Dilli, meminta agar Neka pulang karena ayahnya sakit. Dari situlah Neka mengalami gejolak batin yang luar biasa. Ia harus memilih pulang ke Timor Timur atau tetap di Jakarta. Neka akhirnya memutuskan untuk pulang ke Timor Timur.

Perempuan dan Politik dari Perspektif Pengarang

            Eep Saefullah Fatah, selain telah menghasilkan cerpen yang dimuat di beberapa media, ia juga merupakan seorang pengamat politik yang juga telah menulis kolom dan buku-buku tentang politik dan demokrasi. Mengambil seting ketika pasca penggulingan kekuasaan, di mana Timor Timur melepaskan diri dari Indonesia pada tahun 1999, maka tak heran jika cerpen “Neka” mengandung sarat akan nilai-nilai politik. Sebagai pengarang sekaligus pengamat politik, Eep tentunya menyisipkan sebagian pandangannya ke dalam karyanya, terutama tentang peran perempuan dalam kancah politik.

Memang status Neka dalam cerpen tersebut masih seorang mahasiswi. Ia merupakan seorang aktivis kampus, yang artinya ia juga terlibat dalam berbagai diskusi dan agenda perpolitikan khas mahasiswa. Namun dalam cerpen tersebut, peran Neka dalam memperjuangakan hak pro-integrasi bersama teman-temannya dari Timor Timur yang berpaham sama, bahwa dia tidak mendukung Timor Timur merdeka sebagai negara sendiri, masih kecil yaitu hanya sebatas pengungkapan ide dalam diskusi ringan mahasiswa. Ide-ide yang diungkapkan Neka hanya sebatas pengungkapan sudut pandang dari dalam, dan belum menyentuh hal-hal yang bersifat masif.

Dari sinilah dapat diketahui bahwa pengarang masih menganggap perempuan belum bisa sepenuhnya terlibat dalam kancah perpolitikan, meskipun masih sebatas lingkup mahasiswa. Perempuan diangap sebagai sosok minoritas yang keberadaannya tidak terlalu dilihat secara menyeluruh, perannya hanya sebatas penggalian dari perspektif yang berbeda.

Keminoritasan perempuan semakin tampak saat di akhir cerita. Ketika Neka telah tiba di Pelabuhan Dilli, ia dijemput oleh seseorang yang tidak dikenal. Orang itu menyekap Neka dan membawanya ke sebuah tempat untuk diinterograsi, lalu ia dipaksa mengaku bahwa ia adalah agen intelijen yang dikirim dari Jakarta. Neka mengalami penyiksaan oleh sekelompok orang itu, dan dua hari kemudian, ia diperkosa oleh seorang laki-laki.

Hal ini semakin menguatkan pandangan pengarang bahwa perempuan, sepintar dan sehebat apa pun, ia tetap menjadi golongan inferioritas ketika sudah dihadapkan pada superioritas laki-laki (dalam hal ini adalah kekerasan yang mengakibatkan seks ‘sepihak’ seperti yang dialami Neka). Pemerkosaan akan selalu terjadi ketika perempuan menjadi korban kekerasan laki-laki.

 

 

Simpulan

Pada analisis kali ini, penulis menggunakan cerpen berjudul “Neka” karya Eep Saefullah Fatah yang terbit pada harian Kompas Minggu tahun 2014. Analisis kali ini menerapkan teori feminisme multikultural dan global. Dari analisis yang sudah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.

  1. Ambivalensi nasionalisme Neka, perasaan benci sekaligus rindu Neka kepada tanah kelahirannya, Timor Timur, ketika Timor Timur mendeklarasikan diri untuk merdeka dari Indonesia.
  2. Keterlibatan perempuan dalam pergulatan politik dua bangsa. Peran Neka yang masih kecil dalam kancah politik lingkup mahasiswa.
  3. Perempuan dan politik dari perspektif pengarang. Pengarang masih menganggap bahwa perempuan adalah golongan inferioritas ketika ketika sudah dihadapkan pada superioritas laki-laki.

Daftar Pustaka

Susanto, Dwi. 2016. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: CAPS.

Tong, Rosemarie Putnam. 1989. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada
Arus Utama Pemikiran Feminis.
Yogyakarta: Jalasutra.

 

 

 

 

[Puisi] Pemuda di Seberang Jalan

80b839155d2e2b22b11c51e2b0941fee

Bocah ini kulihat di seberang jalan rumahku

Berkaus oblong hitam dan bercelana pendek merah di atas lutut

Tubuhnya kurus nan tinggi

Pemuda yang bersih dan segar

Seperti teman-teman sejawatku

 

Duduk berselonjor di teras pintu

Meregangkan otot-otot gerak

Hormat kepada setiap kendara yang lewat

Tersenyum lebar entah kepada siapa

Sesekali mematri diri menjadi juru parkir

Atau, mematut diri menjadi tentara dan polisi

 

“Sakit dia!”

 

Apa ia memang sakit?

Aku hanya melihatnya sehat bugar

Bahkan bisa berlarian

Tak murung dan bersemangat

Apa motifmu menuduhnya sakit?

Apa karena akal sehatmu yang jauh di atasnya?

 

Hei, kaum urban!

Boleh jadi kamu tak dapat sekuat dirinya

Diterpa kegagalan dan pahit harapan

Yang memilih jalan pintas mengakhiri

Atau meratapi kemustahilan takdir yang tidak dapat kembali

Serta bermanja-manja dengan huru-hara nestapa

 

Maka boleh jadi dia menganggapmu sakit juga

Sebab kamu berbeda akal dengannya

Baginya dia normal, kamu tak normal

Tapi setidaknya dia tak memilih jalan pintas untuk mengakhiri

Lantas tepekur dalam keremangan nestapa takdir yang begini

Ia pantas diberi apresiasi

 

Gondang, 5 November 2017

[Puisi] O Mas Gondrong

before_i_had_brain_surgery_by_looneyland

 

O Mas Gondrong

Letakkan dulu rokokmu

Seduh seruput kopimu

Kita bincang berdua perihal waktu

Tanpa pretensi, tanpa tendensi

 

O Mas Gondrong

Waktu memang kejam menyingkirkan kita

Tengoklah enam bulan lalu

Diskusi panjangmu yang lugu tentang umat

Mencumbuiku tanpa prasangka

 

Hei Mas Gondrong

Gitarmu adalah duniamu

Rokokmu adalah jiwamu

Gondrongmu adalah pakaianmu

Sajakmu adalah mantramu

Namun hidupmu tak ada yang tahu

Jangan buat aku menduga-duga

 

Oi Mas Gondrong

Ingatkah kamu tentang diskusi halusinasi?

Dari sana kamu tampak lebih dari seorang profesor

yang selalu berkutat pada hidup dengan teori

Tapi kamu tidak beteori

Kamu berintuisi

 

Kepada Mas Gondrong

Izinkan aku tuk hisap sedikit rokokmu


Oalah, Mas Gondrong

Katamu, sastra itu sejauh saya mengenalnya

Apa itu sastra?

Siapa itu sastra?

 

Sejauh saya kenal dan sudah menciumnya

Sastra itu

Gondrong, rokok, dan puisi

Itu kata saya?

Ya, bukan!

 

Begini, Mas Gondrong

Dulu kamu pernah bilang

Sastra itu akal budi

Sejajar dengan filsafat seni

yang tidak henti berafiliasi

lantas memicu ambivalensi

O, teringat Pascakolonial!

 

Anu, Mas Gondrong

Kita sudahi saja diskusi sastranya

Rokok dan puisimu biarkan saja mengudara

Aku tidak butuh asap maupun kata

Aku cuma perlu gondrongmu

 

Sabtu, 4 November 2017

(dalam sebuah kotak percakapan nirfaedah)

“Sastra adalah kebohongan yang tidak menipu.”

Tulisan ini hanyalah hasil buah pikiran dari mahasiswi sastra yang sedang dalam masa “peduli skripsi”, baru “peduli”, belum mengerjakan, apalagi lulus, dan dapat gelar. Mohon maaf apabila pemahaman saya masih sangat kurang.

 

Apa itu sastra?  Ketika mendengar kata tersebut, apa yang ada di benak Anda? Kalau saya, ketika mendengar kata tersebut—sebelum saya ‘terperangkap’ dalam dunia sastra—dalam benak saya adalah bacaan. Kalau lebih lebar lagi, bayangan saya saat masih sekolah adalah sastra identik dengan orang-orang yang suka membaca, yang tahu segala hal. Agaknya asumsi awal saya ini ternyata tidaklah salah.

Lebih jauh, saya diberi kesempatan—hmm bukan lagi kesempatan ya, tetapi sudah menjadi suatu ketetapan illahi—untuk mengenal, terjun ke lembah sastra lewat lembaga pendidikan tinggi yang sedang saya tempuh. Pada awal semester kuliah, dosen-dosen saya mengenalkan kepada saya bahwa sastra itu: alat pengajaran (secara etimologi), seni yang bermedium bahasa, penuh simbol-simbol, tiruan kenyataan atau mimesis, dan bla bla bla….dsb, dst,dll,etc….

Sebelum memahami lebih dalam apa itu sastra, yang pertama harus dilihat adalah maknanya dalam KBBI. Sastra menurut KBBI adalah bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai di kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari). Kata kitab di sini tidak semata-mata dimaknai sebagai kitab suci, meskipun memang kitab suci bisa juga dikategorikan dalam jenis sastra, tetapi juga bukan sembarang sastra, dan agaknya pengkategorian kitab suci sebagai sastra hingga saat ini masih terdapat perbedaan pendapat. Intinya adalah, bahasa yang digunakan dalam sastra bukan merupakan bahasa sehari-hari manusia.

Bahasa dalam sastra menempati tingkatan bahasa kedua, sebab bahasa sastra bukan bahasa sehari-hari yang spontan keluar begitu saja. Sebelum dihasilkan, bahasa sastra merupakan hasil dari perenungan pengarang/penyair dan memuat simbol-simbol tertentu, yang tentu saja harus melewati proses interpretasi terlebih dahulu (kok ilmiah sekali ya bahasanya….)

Sebelum saya masuk prodi Sastra Indonesia, sejujurnya, saya adalah tipe orang yang sangat malas membaca buku. Bisa dihitung dalam setahun saya cuma baca maksimal dua buku. Minimal? Tidak sama sekali (di luar buku pelajaran). Itu pun yang saya baca adalah novel-novel picisan ala remaja. Tetapi begitu kuliah di Sastra Indonesia, mak jegagig, saya tiba-tiba jadi kutu buku. Memang benar apa yang dikatakan oleh salah satu kakak tingkat saya, yang juga kakak kelas saya SMA (lupa kalimat persisnya, tetapi intinya kurang lebih seperti ini): memaksa diri untuk membaca buku karena menjadi mahasiswa Sastra Indonesia.

Kata-kata ini saya rasakan benar. Kuliah di Sastra Indonesia, apalagi jika sudah masuk pembidangan sastra, kalau tidak membaca sendiri dan hanya mengandalkan ceramah dosen di kelas, sudah pasti tidak akan mengerti apa-apa. Ruang lingkup sastra itu luas. Segala macam konsep paradigma dan disiplin ilmu ada di dalamnya. Sastra bahkan hampir sama tingkatannya dengan agama dan filsafat. Dan, selalu berkembang di tiap zamannya.  Rasanya sulit untuk tidak membaca, sebab tanpa membaca kamu tidak akan mendapatkan apa-apa.

Sastra diciptakan dari jiwa yang murni (ini kata buku, bukan kata saya). Sebab hanya jiwa yang murnilah yang mampu membongkar kebohongan. Ibarat anak kecil yang tidak bisa berbohong dan selalu berkata apa adanya meskipun  orang-orang di sekitarnya menyembunyikan kebohongan itu. Sastra adalah alat yang paling jujur. Ketika jurnalisme dan politik bungkam, maka sastra yang akan berbicara.

Sastra itu, kalau sudah jujur akan menjadi pisau yang sangat tajam. Ingat kembali bagaimana sejarah karya-karyanya Pak Pramoedya Ananta Toer yang dilarang publikasi karena mengkritik tajam pemerintahan Orde Baru, dan baru bisa diterbitkan setelah pemerintahan tersebut lengser. Pak Pram yang menulis karyanya di balik jeruji besi. Juga, seorang penyair yang tak kalah luar biasa, yang sampai saat ini masih belum diketahui keberadaan dan nasibnya meski sudah 19 tahun, Wiji Thukul, yang mengkritik keras pemerintah Orde Baru pada karya-karya puisinya. Ia dibuang dan hilang saat pergerakan Reformasi 1998 muncul. Betapa pemerintah pada masa itu begitu takut terhadap sastra, sehingga mereka menangkap dan membuang penciptanya agar sastra tidak lagi menjadi alat perlawanan. (Andai saya hidup pada masa itu, maka pemahaman saya akan jauh lebih matang dari sekadar membaca, mendengar, dan menonton sejarah)

Pada mata kuliah estetika, saya pun mendapat ungkapan baru: Sastra adalah kebohongan yang tidak menipu.  Sastra itu dusta, tetapi jujur. Maksudnya, apa yang diungkapkan dalam sastra tidak sepenuhnya fakta, tetapi dengan itu sastra mengungkapkannya dengan cara yang jujur, apa adanya, seperti ilustrasi anak kecil di atas. Ketika media sudah dikuasai oleh yang punya kuasa, ketika realitas menawarkan kepalsuan , dan ketika masyarakat tidak tahu lagi kepada siapa mereka akan percaya, maka karya sastra yang berasal dari jiwa manusia yang murni, jiwa yang jujurlah yang akan membongkar sampai ke akar-akarnya.

Jadi, sejauh ini, yang saya pahami tentang sastra adalah:

Sastra itu dusta

Tetapi sastra itu alat paling jujur

Sastra adalah kebohongan yang tidak menipu”